Resah Seorang Ayah
Setiap ayah menyimpan sebuah kesunyian yang hanya ia dan Tuhannya pahami.
Ia tidak selalu menangis, tapi setiap langkahnya adalah bentuk doa yang disembunyikan.
Ia bukan hanya pencari nafkah, tapi penjaga tenang di tengah badai, yang memikul cemas agar orang lain bisa beristirahat.
Resah seorang ayah bukan kelemahan, tapi tanda cinta yang sedang diuji.
Ia belajar memendam agar keluarga tetap tersenyum.
Dan di antara kecemasan yang ia sembunyikan, terselip satu keyakinan lembut: bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba yang terus berusaha.
Tentang Ujian yang Tidak Selalu Terlihat
Dalam kisah Nabi Ibrahim, Allah menunjukkan bentuk cinta yang paling dalam — cinta yang menuntut pengorbanan.
“Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’”
(QS. As-Saffat [37]: 102)
Ini bukan hanya kisah pengorbanan, tapi pelajaran tentang tunduknya cinta seorang ayah kepada kehendak Allah.
Ibrahim mengajarkan, bahwa kasih seorang ayah tidak diukur dari seberapa banyak ia memberi, tapi seberapa dalam ia rela menyerahkan segalanya kepada Sang Pemberi.
Kadang, cinta sejati justru diuji lewat hal-hal yang paling kita genggam.
Tentang Ayah yang Tidak Dikenal Dunia
Dalam kitab Tabaqat ash-Shafi’iyyah al-Kubra karya Tajuddin as-Subki, disebutkan kisah ayah Imam Al-Ghazali — seorang pemintal benang yang miskin, tapi sangat mencintai ilmu dan ulama.
Ia tak sempat menuntut ilmu, tapi menyisihkan penghasilannya yang sedikit untuk mendukung para penuntut ilmu.
Menjelang wafat, ia menitipkan kedua anaknya kepada seorang alim sufi agar mereka bisa belajar.
Harta yang ia tinggalkan kecil, tapi doanya besar.
Dan dari air mata seorang ayah miskin itu, lahirlah seorang ulama besar yang kelak dikenal sebagai Hujjatul Islam.
“Ilmu Imam Al-Ghazali adalah buah dari air mata ayahnya yang tidak sempat belajar, tapi tidak pernah berhenti mencintai ilmu.”
Kisah ini mengajarkan bahwa pengorbanan seorang ayah sering kali tidak dikenal dunia, tapi dikenal oleh langit.
Doanya mungkin tidak terdengar, tapi menjadi jalan bagi keberkahan anak-anaknya kelak.
Ketika Rezeki Tidak Selalu Berwujud Uang
Ada rezeki yang datang dalam bentuk keberanian untuk tetap berjuang, meski hasilnya belum terlihat.
Ada rezeki yang datang dalam bentuk ketenangan, ketika hati sadar bahwa segala urusan sedang dijaga oleh Yang Maha Kuasa.
Seorang ayah sering memandang ke langit dengan dada sesak, bukan karena ia lemah, tapi karena di sanalah satu-satunya tempat ia bisa bersandar tanpa ditanya apa-apa.
Ia tahu, tidak ada jaminan hidup tanpa ujian. Tapi ada janji: bahwa setiap langkah yang tulus akan dihitung sebagai ibadah.
Penutup
Resah seorang ayah adalah dzikir dalam bentuk lain.
Ia tidak selalu diucapkan lewat tasbih, tapi lewat kerja, keringat, dan tanggung jawab yang ia pikul setiap hari.
Seperti Nabi Ibrahim yang menyerahkan segalanya kepada Allah,
seperti ayah Imam Al-Ghazali yang berkorban dalam diam —
setiap ayah yang berjuang dengan niat yang tulus sedang menulis kisahnya sendiri di sisi Tuhan.
Maka jangan malu dengan resahmu, wahai ayah.
Sebab barangkali, dari resah itulah Allah sedang menumbuhkan cinta yang paling murni:
cinta yang tetap setia, meski sering terluka.
Catatan sumber:
Kisah ayah Imam Al-Ghazali diriwayatkan dalam Tabaqat ash-Shafi’iyyah al-Kubra karya Tajuddin as-Subki (jilid 6), dan disebut pula dalam beberapa biografi klasik seperti Sifat ash-Shafwah karya Ibn al-Jawzi.
Komentar
Ceritakan satu hal yang kamu rasakan setelah membaca artikel ini.
Menyiapkan data interaksi...
Belum ada komentar. Mulai duluan, yuk?